Menilai Kecerdasan Anak dengan Metode Evaluasi Alternatif
Oleh : Nanok Triyono
09-Feb-2009, 11:29:11 WIB - [www.kabarindonesia.com]
KabarIndonesia - Belajar adalah suatu proses majemuk untuk mendapat informasi atau pengetahuan baru. Proses belajar idealnya dilakukan sejak kecil ketika anak memiliki rasa ingin tahu yang besar. Anak biasanya lebih cenderung menyukai proses belajar mengajar di sekolah formal, terutama ketika berusia antara 6 – 8 tahun. Usia pertumbuhan tersebut mendorong anak untuk ingin tahu lebih banyak tentang semua hal termasuk pendidikan, sosial, dan budaya.
Dalam proses belajar mengajar, J. Piaget pernah melakukan penelitian mengenai perkembangan intelektual anak yang dibagi menjadi tiga tahapan. Piaget mengemukakan tahap pertama adalah fase pra-operasional di dalam frase ini anak masih belum dapat membedakan dengan tegas antara perasaan dan motif pribadinya dalam dunia luar. Tahap kedua yakni fase operasi konkrit, anak pada tahap ini sudah dapat melakukan problem solving dengan baik. Frase ketiga adalah fase operasi formal dimana problem solving dilakukan dengan lebih struktural memuat hipotesis dan eksperimen.
Berkaitan dengan beberapa frase tersebut, tidak sedikit para orang tua atau guru dapat memahami karakteristik frase tersebut. Belajar selain sebagai media transformasi pengetahuan juga sebagai pengukur nilai atau tingkat kecerdasan anak. Penilaian tersebut lebih bersifat real mark atau lebih memandang pada unsur pembelajaran formal, sehingga terkadang orang tua mengalami depresi ketika anaknya memiliki nilai yang kurang padahal si anak tersebut juga memilikii kecerdasan lain seperti yang terdapat pada Multiple Intelligence. Pihak sekolah sebagai pendukung utama penilaian anak didik perlu sekali melakukan perubahan berdasarkan pengembangan intelektual serta multiple intelligence anak. Sekolah perlu mengaplikasikan MEA (Metode Evaluasi Alternatif) di mana penilaian yang dilakukan tidak hanya stagnan pada penampilan nilai hitam diatas putih.
Dalam metode evaluasi alternatif terdapat beberapa langkah yang dapat dilakukan yakni tes criterion-referenced, tes informal, observasi, dan dokumentasi. Tes criterion-referenced dilakukan dengan cara tidak membedakan nilai anak secara statistik, penilaian ini lebih mengarah pada ketrampilan anak yang telah dikuasai serta target yang belum diraihnya. Tes informal yakni tes yang dilakukan untuk mengetahui kemampuan atau sesuatu hal yang dimiliki anak. Tes ini untuk mendapatkan informasi tentang segala hal yang dimiliki anak di luar penilaian formal sekolah.
Penilaian selanjutnya adalah observasi. Ini dimaksudkan agar orangtua atau guru dapat melihat anak-anak dalam konteks yang bermakna dan melakukan hal-hal yang berkaitan dengan hidup mereka. Observasi ini lebih objektif dalam melakukan serta memperbaiki tingkat penilaian kecerdasan terhadap anak. Dokumentasi yakni melakukan portofolio sederhana mengenai nilai-nilai yang pernah diraih anak. Segala hal yang dilakukan anak terutama dalam hal pembelajaran disimpan dalam tahap ini. Beberapa contoh ialah mengenai nilai ujian anak, antologi puisi/ cerpen, diskusi, permainan character building dan lain-lain. Inti dari dokumentasi adalah mengumpulkan segala hal yang pernah diraih atau dilakukan anak yang termasuk dalam multiple intelligence (kecerdasan linguistik, logika, spasial, ritmik, natural, kinestetik, intrapersonal, dan interpersonal).
Beberapa frase metode evaluasi alternatif tersebut nantinya dapat dijadikan referensi dalam melakukan penilaian terhadap anak sehingga penilaian yang diberikan tidak terkesan otoriter. Metode tersebut akan efektif ketika muncul tahap pembahasan, saat orangtua atau guru membahas permasalahan yang terjadi berhubungan dengan nilai sehingga dapat dijadikan masukan dalam menilai anak dengan baik. Penilaian terhadap anak memang harus dilakukan secara struktural agar segala kekurangan dan kelebihan anak dapat terdeteksi dan terpecahkan dengan benar.
Menilai Kecerdasan Anak dengan Metode Evaluasi Alternatif
15 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar